Wednesday, March 26, 2008

PERJALANAN KU KE TIONGKOK

Catatan Perjalanan ke Tiongkok (1)

* Wisata Gunung di Jiuzhaigon dan Suku Chang yang Unik

Untuk keempat kalinya, saya mengunjungi China. Tapi baru kali ini mampir di kota Chengdu, Provinsi Su Chian.
Dari Hongkong, cukup sekitar dua jam dengan pesawat, sudah mendarat di Airport Chengdu. Letaknya, berada di pertengahan antara Hongkong dengan Beijing.

Chengdu, kota yang berpenduduk 11 juta jiwa. Sedangkan Provinsinya, Su Chian berpenduduk 70 juta jiwa.

Kota Chengdu cukup ramai. Ditandai dengan jumlah kendaraan yang memenuhi jalan-jalan lebar dan gedung yang menjulang tinggi. Tapi ketika kami berada di kota Chengdu, kami diingatkan tour guide untuk berhati-hati. Peringatan ini khusus diberikan bagi yang gemar melirik amoy cantik.

Seorang tour guide menceritakan pengalaman pahit ketika membantu tamunya dari Indonesia. Ia kerepotan menghadapi 'amoy iseng' di Chengdu. Kisah ini bermula ketika tamu Indonesia berhasil menggoda seorang amoy cantik untuk diajak minum-minum di restoran.

Ketika pulang, ternyata sang amoy minta bayaran. Pertengkaran terjadi. Sang tour guide turun tangan. Cari jalan damai. Ya, akhirnya dibayar juga 500 yuan, sekitar Rp500 ribu.
Ngeri juga mendengar cerita itu. Kami pun setiap melihat amoy yang memang cantik-cantik, hanya bersikap seperti orang yang malu-malu saja. Tak berani melirik lagi. Siapa tahu yang dilirik itu, termasuk yang suka iseng dan pintar menggoda.

* Airport Jiuzhaigou

Saya tidak lama di kota Cengdu, karena tujuan akan ke Jiuzhaigou. Suatu tempat yang berada di pegunungan setinggi 3600 m dari permukaan laut. Airport Jaizhaigou terletak di puncak gunung. Pesawat jet yang besar bisa mendarat di situ.

Untuk sampai, hanya membutuhkan waktu 45 menit dari Cengdu. Yah, boleh dikata samalah penerbangan dari Makassar ke Kendari.

Tapi yang menakjubkan lapangan udara berada di ketinggian 3600 m. Udaranya berkabut dan suhu udara sangat dingin, 8 derajat C. Dalam penerbangan menuju Airport Jiuzhaigou, pesawat jet terbang di atas awan tebal. Pemandangan di bawah hanya diselingi gunung-gunung yang menjulang tinggi.

Di Jiushaigou, tidak ada keramaian. Yang ada hanya pemandangan gunung dan hutan dengan fasilitas jalan beton yang mulus. Sesekali nampak perkampungan desa suku bangsa Chang.

Di Jiushaigou, di tengah pegunungan yang sepi, justru ada fasilitas hotel bintang 5, Hotel Jiuzhai Paradise atau Jiushai Tian Tang. Juga, ada gedung kesenian yang setiap malam mempertunjukkan aktraksi kesenian kolosal dengan teknik penampilan modern. Tarian yang berpakaian warna warni, gadis-gadis suku Chang yang cantik-cantik, sound system yang lumayan, dan lighting yang gemerlap membuat pertunjukan itu mendapat aplaus panjang dari pengunjung.

Para turis dari manca negara yang terbang ke situ, tujuannya tiada lain menikmati udara gunung dan pemandangan pegunungan. Para wisatawan diantar sejauh 50 km mengelilingi pegunungan yang berliku-liku dalam kondisi mendaki.

Bus berjalan di pinggir tebing yang jurang. Ngeri juga rasanya bagi yang pertama kali ke Jiushaigou.

Di alam pegunungan itu, kita diajak menikmati pemandangan "danau langit" yang berwarna warni. Warnanya hijau dan kebiruan. Warna yang terpancar dari dasar danau.

Airnya jernih layaknya seperti air Aqua. Danau itu disebut danau langit karena berada di tempat ketinggian. Berjalan di daerah ketinggian itu kita harus hati-hati. Terutama yang sudah berumur. Salah sedikit bisa hilang napas. Itu sebabnya, di mana-mana ada alat isap yang dijual untuk membantu pernapasan bagi yang kewalahan bernapas.

Setiap pergantian musim, suasana pegunungan selalu berubah. Pada musim panas, bunga-bunga muncul dengan mekar berwarna warni. Kalau musim salju, pegunungan dipenuhi salju. Air terjun yang berada di pegunungan, kelihatan seperti es batu tergantung.

Di lereng pegunungan, disiapkan sebuah restoran besar untuk para wisatawan. Kita harus mampir, karena hanya restoran satu-satunya di daerah itu. Yang makan sangat banyak. Lebih dua ribu orang memadati restoran pegunungan. Di lokasi itu, ada dijual segala macam cendera mata yang sangat banyak peminatnya.

* Suku Bangsa Chang

Suku bangsa Chang, yang mendiami daerah pegunungan yang terpencil itu, jumlahnya tidak banyak. Penghasilan mereka lumayan, karena mendapat penghasilan tambahan dari pemerintah berkat hasil wisata.

Itu sebabnya kalau ada bus wisata lewat, anak-anak sekolah yang semua berjaket tebal untuk melawan udara dingin, melambaikan tangan. Kedatangan turis, itu pertanda reski buat mereka.

Suku bangsa Chang adalah termasuk pekerja, baik laki maupun wanita. Mereka bekerja di sektor pertanian dan kerajinan rakyat, serta cenderamata.

Pada suku bangsa Chang, pernah berlaku tradisi seorang wanitia boleh punya suami sampai tujuh orang. Maka, pada waktu itulah berlaku tata tertib yang harus dipatuhi sang suami.

Kalau ada suami yang masuk kamar istri, sang suami wajib menggantung sepatunya, atau barang miliknya yang lain di depan pintu. Sang suami yang lain, harus maklum dan tidak boleh mendobrak pintu. Tata tertibnya, yah tunggu giliran. Mungkin waktu itulah berlaku juga aturan, sesama suami tidak boleh saling mendahului.

Bagi yang tertarik dengan kondisi itu, tidak usah buru-buru ke gunung Guanglong, karena tradisi tujuh suami itu sekarang tidak boleh lagi. Itu hanya cerita dulu.

Wajah suku bangsa Chan, putih-putih. Tapi hampir semua nampak bagian muka di pipi atas berwarna merah. Menurut cerita, itu karena pengaruh matahari di musim panas. Tempatnya di ketinggian, maka matahari lebih dekat menyinari wajahnya.

Di wilayah suku bangsa Chang, juga kita diingatkan berhati-hati. Kalau membeli barang dari suku bangsa Chang, menawarnya harus serius. Apabila sudah tawar kemudian tidak jadi beli, itu artinya menghina mereka. Karenannya, menawar berarti harus siap membeli.

Bergaul juga hati-hati, karena kalau memukul pundak orang suku Chang, mereka terjemahkan bahwa mereka diajak berkelahi. Juga jangan pegang kepala mereka, karena itu membuat mereka merasa diganggu kehormatannya.

Tapi bagi gadis-gadis suku bangsa Chang, sangat menyukai pria yang berkaca mata. Mereka menilai yang berkaca mata adalah pria yang punya banyak pengalaman. Apalagi yang memiliki kacamata yang tebal, dia lebih senang lagi karena mereka menganggap pria yang berkacamata tebal, lebih matang. Bisa lebih dipercaya untuk menjadi tempat berlindung baginya.

Memang seperti ada benarnya. Dalam perjalanan wisata itu, pengalaman kami, pria berkaca mata lebih sering ditatap tajam oleh gadis suku bangsa Chang ketika belanja di tempat jualannya. Sayang, komunikasi tidak jalan. Kami hanya bisa berkata 'she-she' kepada mereka yang berarti terima kasih. Selebihnya, kita hanya berkomunikasi yang biasa disebut 'bahasa kode-kode'. Dijawab dengan senyum, ya cukuplah. (**)

No comments: